Dudung.net – Ibuku kecil bukanlah seorang yang terlahir dari keluarga kaya dan berdarah biru, ibuku hanyalah seorang manusia biasa yang berdarah minang dan terlahir dari keluarga petani dari dusun negeri tertinggal.
Ibuku kecil bukanlah seorang yang memiliki nama tambahan di belakang namanya, ibuku tidak memiliki Amd, ST, Msc, apalagi DR didepan namanya, bahkan ibuku hanya bergelar seorang anak yang hanya mencicipi manisnya bangku sekolah rakyat nan merakyat. Ibuku kecil bukanlah seorang wanita bernama indah bak indahnya warna pelangi, ibuku tak pernah marah kepada matahari yang membakar kulitnya, ibuku tak pernah kasar kepada sawah yang menarik nya untuk berlari.....
Ibuku kecil bukanlah seorang anak yang mengenal manja, seorang anak yang merengek minta dibelikan boneka,bahkan sepasang sepatu pun tak pernah terbelikan, bagai mimpi panjang yang tak pernah berujung,
Ibuku remaja tak dilindungi oleh rumah nan megah, ia hanya ditutupi oleh gubug-gubug nan reot, seolah tanah pun enggan menopangnya.
Ibuku remaja bukanlah seorang pemudi berseri-seri, menari-nari diatas kesenangan indahnya masa remaja, ibuku adalah seorang pemudi berhenti berdiri, kembali berlari mengantarkan serantang nasi ke sawah, dan membawa pulang segantang beras sebagai upah.
Ibuku remaja bukanlah pemudi yang ditemani dengan rias-rias wajah nan elok, kulitnya hanya teroleskan keringat, bedak wajah adalah kilauan sengatan matahari menantang, tubuhnya kurus menjulang, garis wajahnya nan jelas bak mendulang.
Ibu menangislah hatiku, jantungku terhujam, ketika kau menangis menggambarkan rinci kehidupan kecil mu nan pilu. Ibu aku bangga denganmu. Biarpun orang menertawakan mu dulu, biarpun orang mengucilkan mu dulu, kini aku memuji mu ibu, aku menyanjung mu ibu, aku dan putra-putri mu yang lain adalah bukti perjuangan mu, bukti kegigihan mu.
Keringatmu adalah dzikirmu.
Tintamu bukanlah emas ataupun perak.
Ilmu adalah tanganmu, kakimu, dan ketegaranmu.
Kaulah bidadari sesungguhnya wahai ibu.
Darah mu adalah darah mulia bagiku.
Gelar mu adalah gelar dimata di Tuhan sebagai manusia yang tegar.
Kecantikanmu adalah ketegaran dan perjuanganmu.
Ibu, Sekarang tataplah dinding-dinding rumah kita, Rumah kita tidaklah megah, tapi kini gubug-gubug itu telah pergi, tanahpun dengan senang menopang rumah kita, sekalipun kini rantau menahan kita, tataplah jajaran foto-foto dirimu dan anak-anakmu, terpampang dengan senyum bangga putera-puteri mu dengan sebuah Toga dan tangan melilit sebuah bukti kelulusan, bukan…ini bukanlah milik kami, ini adalah milik mu Ibu.
Ibu tataplah kembali, hiburlah dirimu, lihatlah dalam sebuah bingkai dirimu tersenyum diatas sebuah unta ditemani oleh Ayahku Juara bagiku didunia ini. Ingatlah kembali setiap lembar perjalanan mu ke tanah nan indah lagi suci.
Biarlah orang-orang menatap wujud perjuanganmu.
Ibu Tersenyumlah, engkau lah PahlawanKu.
Ibuku kecil bukanlah seorang yang memiliki nama tambahan di belakang namanya, ibuku tidak memiliki Amd, ST, Msc, apalagi DR didepan namanya, bahkan ibuku hanya bergelar seorang anak yang hanya mencicipi manisnya bangku sekolah rakyat nan merakyat. Ibuku kecil bukanlah seorang wanita bernama indah bak indahnya warna pelangi, ibuku tak pernah marah kepada matahari yang membakar kulitnya, ibuku tak pernah kasar kepada sawah yang menarik nya untuk berlari.....
Ibuku kecil bukanlah seorang anak yang mengenal manja, seorang anak yang merengek minta dibelikan boneka,bahkan sepasang sepatu pun tak pernah terbelikan, bagai mimpi panjang yang tak pernah berujung,
Ibuku remaja tak dilindungi oleh rumah nan megah, ia hanya ditutupi oleh gubug-gubug nan reot, seolah tanah pun enggan menopangnya.
Ibuku remaja bukanlah seorang pemudi berseri-seri, menari-nari diatas kesenangan indahnya masa remaja, ibuku adalah seorang pemudi berhenti berdiri, kembali berlari mengantarkan serantang nasi ke sawah, dan membawa pulang segantang beras sebagai upah.
Ibuku remaja bukanlah pemudi yang ditemani dengan rias-rias wajah nan elok, kulitnya hanya teroleskan keringat, bedak wajah adalah kilauan sengatan matahari menantang, tubuhnya kurus menjulang, garis wajahnya nan jelas bak mendulang.
Ibu menangislah hatiku, jantungku terhujam, ketika kau menangis menggambarkan rinci kehidupan kecil mu nan pilu. Ibu aku bangga denganmu. Biarpun orang menertawakan mu dulu, biarpun orang mengucilkan mu dulu, kini aku memuji mu ibu, aku menyanjung mu ibu, aku dan putra-putri mu yang lain adalah bukti perjuangan mu, bukti kegigihan mu.
Keringatmu adalah dzikirmu.
Tintamu bukanlah emas ataupun perak.
Ilmu adalah tanganmu, kakimu, dan ketegaranmu.
Kaulah bidadari sesungguhnya wahai ibu.
Darah mu adalah darah mulia bagiku.
Gelar mu adalah gelar dimata di Tuhan sebagai manusia yang tegar.
Kecantikanmu adalah ketegaran dan perjuanganmu.
Ibu, Sekarang tataplah dinding-dinding rumah kita, Rumah kita tidaklah megah, tapi kini gubug-gubug itu telah pergi, tanahpun dengan senang menopang rumah kita, sekalipun kini rantau menahan kita, tataplah jajaran foto-foto dirimu dan anak-anakmu, terpampang dengan senyum bangga putera-puteri mu dengan sebuah Toga dan tangan melilit sebuah bukti kelulusan, bukan…ini bukanlah milik kami, ini adalah milik mu Ibu.
Ibu tataplah kembali, hiburlah dirimu, lihatlah dalam sebuah bingkai dirimu tersenyum diatas sebuah unta ditemani oleh Ayahku Juara bagiku didunia ini. Ingatlah kembali setiap lembar perjalanan mu ke tanah nan indah lagi suci.
Biarlah orang-orang menatap wujud perjuanganmu.
Ibu Tersenyumlah, engkau lah PahlawanKu.
0 komentar:
Posting Komentar